Daftar Blog Saya

Senin, 02 Mei 2011

TRAUMA KEPALA


TRAUMA KEPALA


A.    Konsep Dasar Trauma Kepala

  1. Pengertian
a.       Pengertian trauma kepala
Menurut Satya Negara (1998: 148) mengemukakan bahwa cedera kepala merupakan jumlah deformitas jaringan di kepala yang diakibatkan oleh suatu kekuatan mekanis.
b.      Pengertian Trauma Kepala Sedang
Menurut Arief Mansjoer, (2000:5) dan  Hudak and Gallo,alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996:226) Cedera kepala sedang (Moderat HI) ialah suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12 dan tingkat kesadaran lethargi, obtunded atau stupor.
c.       Pengertian craniotomy

TRAUMA KEPALA

TRAUMA KEPALA

A. Konsep Dasar Trauma Kepala
1. Pengertian
a. Pengertian trauma kepala
Menurut Satya Negara (1998: 148) mengemukakan bahwa cedera kepala merupakan jumlah deformitas jaringan di kepala yang diakibatkan oleh suatu kekuatan mekanis.
b. Pengertian Trauma Kepala Sedang
Menurut Arief Mansjoer, (2000:5) dan Hudak and Gallo,alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996:226) Cedera kepala sedang (Moderat HI) ialah suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12 dan tingkat kesadaran lethargi, obtunded atau stupor.
c. Pengertian craniotomy
Barbara Engram, alih bahasa Suharyati Samba, dkk (1998: 642) mengemukakan bahwa kraniotomi adalah operasi pembukaan tulang tengkorak, sedangkan Ahmad Ramali (1996: 62) mendefinisikan craniotomy adalah setiap pembedahan pada tulang tengkorak.
Dari kedua pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kraniotomi adalah pembedahan yang dilakukan untuk membuka tulang tengkorak.
d. Pengertian Dekompresi
Menurut Ahmad Ramali, (1996:84) Dekompresi ialah pengurangan atau mengevakuasi bekuan darah dari tulang tengkorak.
e. Pengertian Subdural Hematoma
Menurut Depkes RI (1995: 63) Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara durameter dan arakhnoid yang biasanya meliputi perdarahan vena. Sedangkan menurut Carolyn M. Hudak, alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996: 228) hematoma subdural adalah akumulasi darah di bawah lapisan meningeal durameter dan diatas lapisan arakhnoid yang menutupi otak. Definisi lain dikemukakan oleh Arif Mansjoer, dkk (2000: 8) bahwa hematoma subdural ialah pengumulan darah dalam rongga antara durameter dan membran subarakhnoid yang bersumber dari robeknya vena.
Dari ketiga pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa hematoma subdural adalah akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara durameter dan arakhnoid yang biasanya disebabkan karena perdarahan vena.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, Post craniotomy dekompresi atas indikasi moderat HI disertai subdural hematoma fronto temporo parietal dextra ialah operasi pembedahan yang dilakukan untuk membuka tengkorak guna mengevakuasi bekuan darah atas indikasi cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) 9-12 disertai akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara durameter dan arakhnoid yang biasanya disebabkan karena perdarahan vena di daerah fronto temporo parietal dextra.
2. Anatomi dan Fisiologi Otak
Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar-agar dan terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu kranium (tengkorak), yang secara absolut tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang dewasa.
Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar adalah: kulit kepala yang mngandung rambut, lemak dan jaringan lainnya, tulang tengkorak, meningens (selaput otak dan liquor serebrospinalis). (Satyanegara, 1998: 12)
Otak dibagi dalam beberapa bagian:
a. Serebrum (otak besar)
Merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi depan atas rongga tengkorak, masing-masing disebut fase kranialis anterior atas dan fase kranialis media.
Pada otak besar ditemukan beberapa lobus, yaitu:
1) Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan siklus sentralis. Lobus ini terlihat dalam 2 fungsi serebral utama, yaitu: (1) kontrol motorik gerakan volunter termasuk fungsi bicara, dan (2) kontrol berbagai ekspresi emosi, moral dan tingkah laku etika. Fungsi aktifitas motoriknya diekspresikan melalui: korteks somato-motorik primer (area Brodmann 4), korteks premotor dan suplemen (area Brodmann 6), frontal eye field (area Brodmann 8) dan pusat bicara Broca (area Brodmann 44), sedangkan kontrol ekspresif dari emosi dan moral dilaksanakan oleh korteks pre frontal (Satyanegara, 1998: 15)
2) Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakangi oleh karaco oksipitalis. Lobus parietal dikaitkan untuk evaluasi sensorik umum dan rasa kecap, dimana selanjutnya akan dintegrasi dan diproses untuk menimbulkan kesiagaan tubuh terhadap lingkungan eksternal. (Satyanegara, 1998: 17)
3) Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di depan lobus oksipitalis. Lobus temporalis mempunyai peran fungsionil yang berkaitan dengan pendengaran, keseimbangan dan juga sebagian dari emosi-memori
4) Lobus oksipitalis, yang mengisi bagian belakang daris erebrum lobus oksipitalis sangat penting fungsinya sebagai kortex visual. Secara umum, fungsi serebrum terdiri dari:
a) mengingat pengalaman-pengalaman masa lalu
b) pusat persyarafan yang menangani; aktifitas mental, akal, inteligensi, keinginan dan memori
c) pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil
Untuk memperjelas letak dari setiap Lobus Otak dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini:

Gbr.2.1. Penampang lateral lobus-lobus otak








Sumber: Satyanegara, L. Djoko Listiano, Ilmu Bedah Saraf Edisi III, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998
b. Batang otak (trunkus serebri)
Batang otak adalah pangkal otak yang merilei pesan-pesan antara medula spinalis dan otak. Batang otak terdiri dari:
1) Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebrum dengan mesensefalon. Kumpulan dari sel syaraf yang terdapat di bagian depan lobus temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping.
Fungsi dari diensefalon:
a) vaso kontruktor, mengecilkan pembuluh darah
b) respiratori, membantu proses persyarafan
c) mengontrol kegiatan reflek
d) membantu pekerjaan jantung
Diensefalon tersusun atas struktur Hipothalamus yang berfungsi sebagai pusat integrasi susunan saraf otonom, regulasi temperatur, keseimbangan cairan dan elektrolit, integrasi sirkuit siklus bangun-tidur, intake makanan, respon tingkah laku terhadap emosi, pengontrolan endokrin, dan respon seksual. Thalamus berfungsi sebagai pusat persediaan dan integrasi bagi semua jenis impuls sensorik, kecuali penciuman.thalamus memainkan peranan penting dalam transmisi impuls nyeri.(satyanegara, 1998:20)
2) Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke atas, 2 di sebelah atas disebut korpus quadrigeminus superior dan 2 di sebelah bawah disebut korpus quadrigeminus inferior, serat saraf okulomotorius berjalan ke veritral di bagian medial. Serat-serat saraf nervus troklearis berjalan ke arah dorsal menyilang garis tengah ke sisi lain.
Fungsinya terdiri dari:
a) membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata
b) memutar mata dan pusat pergerakan mata
3) Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons varoli dengan serebelum, terletak didepan serebelum di antara otak tengah dan medula oblongota, disini terdapat premotoksid yang mengatur gerakan pernafasan dan reflek.


Fungsi dari pons varoli terdiri dari:
a) penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula oblongata dengan serebelum
b) pusat syaraf nervus trigeminus
4) Medula oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Bagian bawah medula oblongata merupakan persambungan medula spinalis ke atas dan bagian atas medula oblongata disebut kanalis sentralis di daerah tengah bagian ventral medula oblongata
Fungsi medula oblongata merupakan organ yang menghantarkan impuls dari medula spinalis dan otak yang terdiri dari:
a) mengontrol pekerjaan jantung
b) mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktor)
c) pusat pernafasan (respiratory centre)
d) mengontrol kegiatan reflek
Otak dilindungi oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan:
a. Duramater (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, di bagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater propia di bagian dalam. Di dalam kanal vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Duramater pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan arah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior, terletak di antara kedua hemisfer otak.
b. Arakhnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan piameter membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan syaraf sentral. Medula spinalis terhenti setinggi di bawah lumbal I-II terdapat sebuah kantong berisi cairan, berisi saraf perifer yang keluar dari medula spinalis dapat dimanfaatkan untuk mengambil cairan otak yang disebut pungsi lumbal.
c. Piamater (lapisan sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamater berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trabekel. Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari falks serebri. Tentorium memisahkan serebri dengan sereblum.(Syaifuddin, 1997: 124)
3. Etiologi (Satyanegara,1998:148)
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme dasar yaitu:
a. Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek atau sebaliknya
b. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan
4. Klasifikasi cedera kepala
a. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan tingkat keparahan menurut: (Mansjoer, Arief 2000:5), (Hudak and Gallo, alih bahasa Monica E.D Adiyanti, 1996:226) adalah sebagai berikut:
1) Cedera kepala ringan (mild HI)
Suatu keadaan dimana kepala mendapat trauma ringan dengan hasil penilaian tingkat kesadaran (GCS) yaitu 13-15, klien sadar penuh, atentif dan orientatif. Klien tidak mengalami kehilangan kesadaran, bila hilang kesadaran misalnya konkusio, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang. Klien biasanya mengeluh nyeri kepala dan pusing. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala
2) Cedera kepala sedang (moderat HI)
Suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12, tingkat kesadaran lethargi, obturded atau stupon. Gejala lain berupa muntah, amnesia pasca trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan cerebrospinal dan biasanya terdapat kejang.


3) Cedera kepala berat (severe HI)
Cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 3-8, tingkat kesadaran koma. Terjadi penurunan derajat kesadaran secara progresif. Tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium. Mengalami amnesia > 24 jam, juga meliputi kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intra kranial.
b. Klasifikasi perdarahan intrakranial berdasarkan lokasi akibat cedera kepala menurut:Suzanne C Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung Waluyo (2001:2212), Tuti Pahria,dkk (1996:49) adalah sebagai berikut:
1) Hematoma epidural
Adalah pengumpulan darah di dalam ruang epidural (ekstradural) di antara tengkorak dan duramater. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada di antara duramater putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara duramater dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak. Gejala ditimbulkan oleh hematoma luas, disebabkan oleh perluasan hematoma. Biasanya terlihat adanya kehilangan kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti dengan pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan. Gejala klasik atau temporal berupa kesadaran yang makin menurun disertai anisokor pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontra lateral. Sedangkan hematoma epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang tidak membaik setelah beberapa hari. Banyaknya perdarahan terjadi karena proses desak ruang akut, bila cukup besar akan menimbulkan herniasi misalnya pada perdarahan epidural, temporal yang dapat menyebabkan herniasi unkus.
2) Hematoma subdural
Adalah pengumpulan darah diantara durameter dan arakhnoid yang biasanya meliputi perdarahan vena. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga terjadi kecenderungan perdarahan yang serius dari aneurisma, hemoragi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, subakut atau kronik, tergantung pada ukuran pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
a) Hematoma subdural akut, sering dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau laserasi. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan/ atau tanda gejala klinis: sakit kepala, perasaan kantuk dan kebingungan, respon yang lambat dan gelisah. Tekanan darah meningkat dengan frekuensi nadi lambat dan pernafasan cepat sesuai dengan peningkatan hematoma yang cepat. Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
b) Hematoma subdural sub akut, biasanya berkembang 7-10 hari setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat dan dicurigai pada pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Tanda dan gejala sama seperti pada hematoma subdural akut. Tekanan serebral yang terus menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran yang dalam. Angka kematian pasien hematoma subdural akut dan subakut tinggi, karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak.
c) Hematoma subdural kronik, terjadi karena cedera kepala minor. Mulanya perdarahan kecil memasuki di sekitar membran vaskuler dan pelan-pelan meluas. Gejala klinis mungkin tidak terjadi/ terasa dalam beberapa minggu atau bulan. Keadaan ini pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik, lansia cenderung yang paling sering mengalami cedera kepala tipe ini sekunder akibat atropi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan. Cedera kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang cukup untuk menggeser isi otak secara abnormal dengan sekuela negatif.


3) Hematoma intraserebral
Adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cedera peluru atau luka tembak, cedera tumpul). Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik yang menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantung aneurisma, anomali vaskuler, tumor intrakranial. Akibat adanya substansi darah dalam jaringan otak akan menimbulkan edema otak, gejala neurologik tergantung dari ukuran dan lokasi perdarahan.
5. Patofisiologi
Patofisiologi trauma kepala menurut: Sylvia Anderson, et,al., alih bahasa Peter Anugerah (1995: 1011); Satyanegara, (1998: 150); Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996: 226) adalah sebagai berikut:
Pada trauma kepala dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara mendadak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan cedera akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi dan deselerasi merupakan kejadian yang serupa, hanya berbeda arahnya saja. Efek akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior adalah serupa dengan deselerasi kepala anterior-posterior.
Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau memar pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut akan mengakibatkan gejala defisit neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran yang progresif, reflek Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak organik.
Pada trauma kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi karena pada dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak karena adanya perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan interstisial.
Akibat cedera kepala, otak akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater, kemudian terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada vena-vena “gantung” (bridging veins). Robeknya vena yang menyilang dari kortex ke sinus-sinus venosus dapat menyebabkan subdural hematoma, karena terjadi pengisian cairan pada ruang subdural akibat dari vena yang pecah. Selanjutnya pergeseran otak juga menimbulkan daerah-daerah yang bertekanan rendah (cedera regangan) dan bila hebat sekali dapat menimbulkan kontusi kontra-kup.
Akibat dari adanya edema, maka pembuluh darah otak akan mengalami penekanan yang berakibat aliran darah ke otak berkurang, sehingga akan hipoksia dan menimbulkan iskemia yang akhirnya gangguan pernapasan asidosis respiratorik (Penurunan PH dan peningkatan PCO2 ). Akibat lain dari adanya perdarahan otak dan edema serebri yang paling berbahaya adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang timbul karena adanya proses desak ruang sebagai akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di dalam otak. Peningkatan intra kranial yang terus berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema yang bertambah secara progresif, akan menyebabkan koma dengan TTIK yang terjadi karena kedua hemisfer otak atau batang otak sudah tidak berfungsi.
6. Manajemen medis secara umum pada trauma kepala (Tuti Pahria,dkk ,1996:57; Arif Mansjoer, dkk, 2000: 4)
a. Anti kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/ kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/ menit.pada cedera kepala berat, Antikejang fenitoin diberikan 15-20 mg/kgBB bolus intavena, kemudian 300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini (minggu pertama) dari 14% menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karena kadar subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
b. Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin (biasanya hari ke-2 perawatan)
c. Temperatur badan: demam (temperatur > 101oF) mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab (antibiotik) diberikan bila perlu.
d. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam)
e. Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
f. Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera kepala terbuka masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi resiko meningitis penumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
g. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi
h. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40% atau gliserol 10%
i. Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
j. Pembedahan, meliputi kraniotomi atau kraniektomi
k. Pada trauma berat, karena hari-hari pertama didapatkan penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit, maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan, dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui nasogastrik tube (2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai urea N
7. Dampak trauma kepala terhadap sistem tubuh lainnya
Adanya gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala akan mengganggu sistem tubuh lainnya. Adapun gangguannya menurut : Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996: 230) Tuti Pahria,dkk (1996:50) adalah sebagai berikut:


a. Sistem kardiovaskuler
Trauma kepala yang disertai dengan Subdural hematoma, akan terjadi perdarahan dan edema serebri sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, tachikardi kemudian bradikardi dan iramanya tidak teratur sebagai kompresi kerja jantung.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktifitas atipikal miokardiar, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simfatik dan parasimfatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
Aktifitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work dimana pembacaan CVP abnormal, tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.


b. Sistem pernafasan
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau hipertensi paru, menyebabkan hipernoe dan bronkhokonstriksi. Pernafasan cheyne stokes dihubungkan dengan sensitifitas yang meningkat pada mekanisme terhadap karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi apnea. Konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah, aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2 akan terjadi alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF (Serebral Blood Fluid). Bila PCO2 bertambah akibat gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan acidosis dan vasodilatasi. Hal ini menyebabkan pertambahan CBF, yang kemudian menyebabkan terjadinya penambahan tingginya tekanan intra kranial (TTIK) edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio otak, terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatik yang mengandung protein eksudat yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak normal tidak didapatkan edema otak terjadi karena penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Edema otak dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan daerah medula oblongata dapat menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.
Trauma kepala dapat mengakibatkan penurunan kesadaran yang dapat menyebabkan terakumulasinya sekret pada trakheobronkhiolus, sehingga akan terjadi obstruksi pada saluran pernapasan.
c. Sistem pencernaan
Trauma kepala juga mempengaruhi sistem pencernaan. pada klien post craniotomy pada hari pertama akan didapatkan bising usus yang menurun karena efek narkose. Setelah trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan merangsang aktifitas hipotalamus dan stimulus gagal. Hal ini merangsang anterior hipofisis menjadi hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofisis untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral. Namun, pengaruhnya terhadap lambung adalah peningkatan ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stres yang mempengaruhi produksi lambung. Hiperasiditas yang tidak ditangani akan menyebabkan perdarahan lambung. sedangkan peningkatan asam lambung akan mengakibatkan klien mual dan muntah. klien dengan peningkatan tekanan intra kranial akibat trauma kepala ditandai dengan muntah yang seringkali proyektil.



d. Sistem endokrin dan perkemihan
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungannya retensi natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium disebutkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Pada pasien dengan trauma kepala khususnya fraktur tengkorak. Kerusakan pada kelenjar hipofisis atau hipotalamus atau TTIK. Gambaran klinis dapat dikomplikasi oleh diabetes insipidus. Pada keadaan ini terdapat disfungsi ADH. Dengan penurunan jumlah ADH yang ada pada darah, ginjal mengekskresikan terlalu banyak air, menimbulkan dehidrasi. Pada klien dengan penurunan kesadaran dapat menyebabkan inkontinensia urine karena lemahnya kontrol otot spinkter uretra eksterna.
e. Sistem muskuloskeletal
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal, yang dapat membuat komplikasi seperti peningkatan spastisitas dan kontraktur. klien dengan penurunan kesadaran akan gelisah serta gerakan kaki dan tangannya yang tidak terkontrol.
f. Sistem integumen
Pada klien yang dilakukan craniotomy tampak luka operasi pada kepala bila penyembuhan luka tidak baik akan didapatkan tanda-tanda rubor, tumor, dolor, kalor dan fungsiolesa dan bila infeksi akan didapatkan gangguan integritas kulit selain itu juga dapat terjadi peningkatan suhu tubuh sehingga pada anggota badan akan tampak banyak keringat.
8. Komplikasi dari trauma kepala (Mansjoer, Arif, 2000: 7)
a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6% pasien dengan cedera kepala tertutup. Hal ini beresiko terjadinya meningitis (biasanya pneumokok).
b. Fistel karotis-kavernosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis dan bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi diperlukan untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskular merupakan cara yang paling efektif dan dapat mencegah hilangnya penglihatan yang permanen.
c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum.
d. Kejang pascatrauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan. Insidens keseluruhan epilepsi pascatrauma lanjut (berulang, tanpa provokasi) setelah cedera kepala tertutup adalah 5%; resiko mendekati 20% pada pasien dengan perdarahan intrakranial atau fraktur depresi.
B. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan Akibat Trauma Kepala
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data baik subyektif atau obyektif dan kemudian menganalisanya. Data-data dalam pengkajian ini meliputi: (Pahria, Tuti ,dkk, 1996: 55)
a. Identitas klien
1) Identitas klien
Identitas klien meliputi nama klien, umur klien biasanya pada usia produktif atau pada lansia, jenis kelamin mayoritas pria, agama, pendidikan, pekerjaan klien biasanya berhubungan dengan sarana transportasi, status marital, suku bangsa, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, golongan darah, no.medrek, diagnosa medis dan alamat.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.



b. Riwayat kesehatan
1) Alasan masuk Rumah Sakit
Biasanya penyebab trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas, namun tidak menutup kemungkinan faktor lain. Oleh karena itu pada Alasan klien masuk Rumah Sakit perlu dikaji mengenai kapan, dimana, penyebab, bagaimana proses terjadinya, apakah klien pingsan, muntah atau perdarahan dari hidung atau telinga.
2) Keluhan utama saat dikaji
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala sedang datang ke rumah sakit dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS = 9-12), sedangkan apabila klien sudah sadar penuh biasanya akan merasa bingung, mengeluh muntah, dispnea, tachipnea, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralise, hemiparese, luka di kepala, akumulasi sputum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan adanya kejang yang disebabkan karena proses benturan akselerasi-deselerasi pada setiap daerah lobus otak yang dapat menyebabkan konkusio atau kontusio serebri yang mengakibatkan penurunan kesadaran kurang atau bisa lebih dari 24 jam.
3) Riwayat kesehatan dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah mengalami trauma kepala atau penyakit sistem syaraf serta penyakit sistemik. Perlu dikaji juga apakah klien memiliki kebiasaan kebut-kebutan di jalan raya, memakai Helm dalam mengendarai kendaraan, meminum minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Kaji mengenai adanya penyakit keturunan, penyakit menular, kebiasaan buruk dalam keluarga seperti merokok atau keadaan kesehatan anggota keluarga.
c. Pemeriksaan fisik
1) Sistem pernafasan
Didapatkan adanya perubahan pola nafas baik irama, kedalaman maupun frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (cheyne stokes, ataxia breathing), bunyi nafas ronchi atau stridor, adanya sekret pada trakheo bronkhiolus, adanya retraksi dinding dada.
2) Sistem kardiovaskuler
Dalam pemeriksaan didapatkan perubahan tekanan darah menurun kecuali apabila terjadi peningkatan tekanan intra kranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi tachikardi, kemudian bradikardi atau iramanya tidak teratur sebagai kompresi kerja jantung untuk membantu mengurangi tekanan intra kranial.
3) Sistem pencernaan
Pada klien post craniotomy biasanya didapatkan bising usus yang normal atau bisa juga menurun apabila masih ada pengaruh anestesi, perut kembung, bibir dan mukosa mulut tampak kering, klien dapat mual dan muntah. kadang-kadang konstipasi karena klien tidak boleh mengedan atau inkontinensia karena klien tidak sadar. Pada perkusi abdomen terdengar timpani, nyeri tekan pada daerah epigastrium, penurunan berat badan.
4) Sistem perkemihan
Pada pengkajian akan didapatkan retensi urine pada klien sadar, sedangkan pada klien tidak sadar akan didapatkan inkontinensia urine dan fekal, jumlah urine output biasanya berkurang. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia.
5) Sistem muskuloskeletal
Pada klien post craniotomy biasanya ditemukan gerakan-gerakan involunter, kejang, gelisah, ataksia, paralisis dan kontraktur, kekuatan otot mungkin menurun atau normal.
6) Sistem integumen
Pada klien post craniotomy tampak luka pada daerah kepala, suhu tubuh mungkin di atas normal, banyak keringat. Pada hari ketiga dari operasi biasanya luka belum sembuh karena masih agak basah/ belum kering. biasanya masih terdapat hematoma pada klien dengan perdarahan di meningen. Data fisik yang lain adalah mungkin didapatkan luka lecet dan perdarahan pada bagian tubuh lainnya. Bentuk muka mungkin asimetris.

7) Sistem persyarafan
a) Test fungsi serebral
1) Klien mengalami penurunan kesadaran maka dalam orientasi, daya ingat, perhatian dan perhitungan serta fungsi bicara klien sehingga hasil pemeriksaan status mentalnya kurang dari normal atau kurang dari 20 ditandai dengan amnesia, gangguan kognitif, dll.
2) Tingkat kesadaran
Biasanya tingkat kesadaran berkisar antara obtunded sampai lethargi. Kuantitas: nilai GCS: 9-12
3) Pengkajian bicara
(a) Proses reseptif
Biasanya didapatkan kesulitan mengucapkan kata-kata yang leih dari satu kata misalnya “sakit kepala” atau “rumah sakit”
(b) Proses ekspresif
Biasanya didapatkan bicara kurang lancar, tidak spontan dan tidak jelas
b) Test nervus kranial (Lumbantobing, 2003: 24), (Tuti Pahria, dkk, 1996: 55)


1) Nervus I (olfaktorius)
Memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia bilateral yang disebabkan karena terputusnya serabut olfaktorius selain karena trauma kepala juga bisa disebabkan oleh infeksi.
2) Nervus II (optikus)
Pada trauma oksipitalis, memperlihatkan gejala berupa penurunan daya penglihatan, penurunan lapang pandang
3) Nervus III, IV, VI (okulomotorius, troklearis, abdusen)
Pada trauma kepala yang disertai dengan perdarahan intrakranial akan menyebabkan gangguan reaksi pupil yang lambat/ midriasis karena tekanan pada bagian pinggir nervus III yang mengandung serabut parasimpatis. Gangguan kelumpuhan N IV, namun jarang terjadi. Kelumpuhan N IV menyebabkan terjadinya diplopia, gejala lainnya berupa refek cahaya menurun, anisokor.
4) Nervus V (trigeminus)
Gangguan ditandai adanya anestesi daerah dahi.
5) Nervus VII (fasialis)
Pada trauma kepala yang mengenai neuron motorik atas unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior
6) Nervus VIII (akustikus)
Pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya pendengaran dan keseimbangan tubuh.
7) Nervus IX, X, XI (glosofaringetus, vagus, assesoris)
Gejala jarang ditemukan karena klien akan meninggal apabila trauma mengenai syaraf tersebut. Adanya hiccuping (cegukan) karena kompresi pada nervus vagus yang menyebabkan spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cegukan yang terjadi biasanya beresiko peningkatan tekanan intrakranial.
8) Nervus XII (hipoglosus)
Gejala yang biasa timbul adalah jatuhnya lidah ke salah satu sisi, disfagia, dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.
d. Data psikologis (Tuti Pahria, dkk, 1996: 57)
Pasien yang mengalami penurunan kesadaran, maka data psikologis tidak dapat dikaji. Sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal (GCS: 13-15) akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium.


e. Data sosial
Data yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan dengan orang-orang terdekat dan yang lainnya. Kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Pada klien yang mengalami penurunan kesadaran data sosial tidak dapat dikaji. Sedangkan pada klien yang tingkat kesadarannya normal, pada klien trauma kepala akan didapatkan kesulitan berkomunikasi bila area trauma pada lobus temporal.
f. Data spiritual
Data spiritual pada klien dengan penurunan kesadaran tidak dapat dikaji, sehingga data ketaatan klien terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup serta keTuhanan yang diyakini klien tidak dapat terkaji.
g. Data penunjang (Doenges, et al, 2000:272)
1) Pemeriksaan analisa gas darah
Biasanya memperlihatkan acidosis respiratorik yaitu:
1) PH darah: < 7,35 2) PaO2 menurun antara 60-80 mmHg 3) PaCO2 : > 45 mmHg
4) HCO3: >22-26 mEq/l
5) Base excess: -2,5 s.d + 2,5
6) Saturasi: 95%


2) Pemeriksaan elektrolit biasanya didapatkan gambaran:
1) Natrium: > 14 mEq/l
2) Kalium: < 3,5 mEq/l 3) Kalsium: > 11 mg%
4) Fosfat: 3 mg%
5) Chlorida: > 107 mEq/l
3) Pemeriksaan HB dan leukosit biasanya didapatkan:
1) Penurunan HB (kurang dari normal: 13-18 gr/dl)
2) Leukosit meningkat (lebih dari normal: 3,8 – 10,6 ribu mm3)
4) CT Scan (tanpa/ dengan kontras): mengidentifikasi hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Catatan: Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/ infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.
5) MRI: Sama dengan CT Scan dengan/ tanpa menggunakan kontras
6) Angiografi serebral: Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat oedema, perdarahan, trauma
7) EEG: Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
8) Sinar X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur garis tengah (karena perdarahan, oedema), adanya fragmen tulang
9) BAER (Brain Auditory Evoked Respons): Menentukan fungsi kortexs dan batang otak
10) PET (Position Emission Tomography): Menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme pada otak
11) Fungsi Lumbal, CSS: Dapat mendeteksi kemungkinan adanya perdarahan subarakhnoid dan memastikan bocornya CSS sehingga terjadi iritasi meningen mengakibatkan meningitis
12) Pemeriksaan toksikologi: Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran
13) Kadar antikonvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat therapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
2. Diagnosa Keperawatan Dan Perencanaan
Setelah data terkumpul kemudian dilakukan analisa terhadap data untuk menentukan diagnosa keperawatan yang muncul baik aktual maupun resiko.
Pada klien post craniotomy dekompresi atas indikasi moderat HI disertai subdural hematoma fronto temporo parietal dextra, kemungkinan diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut:
Tuti Pahria, dkk, (1996: 58), Suzanne C Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung Waluyo (2002:2126), Linda Juall Carpenito, alih bahasa Monica Ester (2001:497), Linda Juall Carpenito, alih bahasa Monica Ester (1999:523), Marilyn E. Doenges, alih bahasa I Made Kariasa, dkk (2000:277) adalah sebagai berikut:
a. Resiko atau aktual tidak efektifnya pola pernafasan, disebabkan oleh:
1) Gangguan/ kerusakan pusat pernafasan di medula oblongata
2) Adanya obstruksi trakeobronkial
Tujuan:
Pola nafas efektif dalam batas normal
Kriteria evaluasi:
1) Pola nafas dalam batas normal dengan frekuensi 14-20 kali/ menit (untuk dewasa) dan iramanya teratur
2) Bunyi nafas normal tidak ada stridor, ronchi, dullness dan wheezing
3) Tidak ada pernafasan cuping hidung
4) Pergerakan dada simetris/ tidak ada retraksi
5) Nilai analisa gas darah arteri normal yaitu:
pH darah: 7,35-7,45
PaO2: 80-100 mmHg
PaCO2: 35-45 mmHg
HCO3: 22-26 mEq/ L
BE: -2,5 - +2,5
Saturasi O2: 95-98%




Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor kecepatan, kedalaman, frekuensi, irama dan bunyi nafas


2. Atur posisi pasien dengan posisi semi fowler (150 – 450)







3. Lakukan penghisapan lendir dengan hati-hati selama 10-15 detik. Catat sifat, warna dan bau sekret. Lakukan bila tidak ada retak pada tulang basal dan robekan dural




4. Berikan posisi semi prone lateral/ miring. Bila tidak ada kejang dan setelah 4 jam Perubahan yang terjadi dan hasil pengkajian berguna dalam menunjukkan adanya komplikasi pulmonal dan luas-nya bagian otak yang terkena
Dengan menempatkan pasien posisi semi fowler maka akan mengurangi penekanan isi rongga perut terhadap diapraghma, sehingga ekspansi paru tidak terganggu. Kepala ditinggikan dengan tempat tidur (tanpa bantal) untuk cegah hiperekstensi/ fleksi
Dengan dilakukannya penghisapan lendir maka jalan nafas akan bersih dan akumulasi dari sekret bisa dicegah sehingga pernafasan akan tetap lancar dan efektif. Penghisapan dilakukan hati-hati untuk mencegah terjadinya iritasi saluran nafas dan refleks vagal
Posisi semi prone dapat membantu keluarnya sekret dan mencegah aspirasi
(1) (2)
pertama, ubah posisi miring atau prone (telentang) tiap 2 jam


5. Apabila pasien sudah sadar, anjurkan dan ajak latihan nafas dalam
6. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi oksigen, monitor ketepatan terapi oksigen dan komplikasi yang mungkin timbul



7. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam melaksanakan analisa gas darah sehingga dapat membuka jalan nafas. Mengubah posisi dapat berguna untuk merangsang mobilisasi sekret di saluran pernafasan
Latihan nafas dalam berguna untuk melatih complain paru

Pemberian oksigen terapi tambahan dapat meningkatkan oksigenisasi otak untuk mencegah hipoksia. Monitor pemberian oksigen untuk mencegah terjadinya pemberian oksigen yang berlebihan, iritasi saluran nafas
Analisa gas darah dapat menentukan keefektifan respiratori, keseimbangan asam basa dan kebutuhan terapi

b. Resiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial disebabkan oleh:
1) Adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak
2) Kelainan sirkulasi serobrospinal
3) Vasodilatasi pembuluh darah otak akibat asidosis metabolik
Tujuan:
Peningkatan tekanan intra kranial tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial seperti tekanan darah meningkat, denyut nadi lambat, pernafasan dalam dan lambat, hipertermia, pupil melebar, anisokor, refleks terhadap cahaya negatif, kesadaran bertambah buruk, nilai GCS < 1
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor status neurologis yang berhubungan dengan tanda-tanda TTIK terutama GCS.




2. Monitor tanda-tanda vital: tekanan darah, denyut nadi, respirasi, suhu minimal setiap jam sampai keadaan pasien stabil
3. Naikkan kepala dengan sudut 150-450, tanpa bantal (tidak hiperekstensi dan fleksi) dan posisi netral (dari kepala hingga daerah lumbal dalam garis lurus) Hasil dari pengkajian dapat diketahui secara dini adanya tanda-tanda dan peningkatan tekanan intra kranial sehingga dapat menentukan arah tindakan selanjutnya. Kecenderungan terjadinya penurunan nilai GCS menandakan adanya TTIK
Dapat mendeteksi secara dini tanda-tanda TTIK



Dengan posisi kepala 150-450 dari badan dan kaki maka akan meningkatkan dan melancarkan aliran balik darah vena kepala sehingga mengurangi kongesti serebrum, edema dan mencegah

(1) (2)





4. Monitor asupan dan haluaran setiap 8 jam sekali


5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan anti edema seperti manitol, gliserol dan lasix




6. Monitor suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi. Batasi pemakaian selimut, kompreslah bila suhunya tinggi (demam)

7. Berikan oksigen sesuai program terapi dengan saluran pernafasan yang lancar

terjadinya TTIK. Posisi netral tanpa hiperekstensi dan fleksi dapat mencegah penekanan pada saraf medula spinalis yang menambah TTIK.
Tindakan ini untuk mencegah kelebihan cairan yang dapat menambah edema serebri sehingga terjadi TTIK
Manitol atau gliserol merupakan cairan hipertonis yang berguna untuk menarik cairan dari intraseluler (sel) ke ekstraseluler (vaskuler). Lasix untuk meningkatkan ekskresi natrium dan air yang diinginkan, untuk mengurangi edema otak.
Demam menandakan gangguan hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolik karena demam dan suhu lingkungan yang panas akan meningkatkan TTIK
Mengurangi hiposemnia yang dapat meningkatkan vasodilatasi serebri, volume darah dan tekanan intra kranial.



(1) (2)
8. Bantu pasien untuk menghindari/ membatasi batuk, muntah atau
mengedan seperti pada saat BAB Aktifitas seperti itu dapat meningkatkan tekanan intratorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TTIK.

c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan: penurunan produksi anti diuretik hormon (ADH) akibat terfiksasinya hipotalamus
Tujuan:
Cairan elektrolit tubuh seimbang
Kriteria evaluasi:
1) Asupan-haluaran seimbang yaitu asupan cairan selama 24 jam 1-2 liter dan haluaran urin 1-2 cc/ KgBB/ jam
2) Turgor kulit baik
3) Nilai elektrolit tubuh normal:
Natrium: 13-14 mEq/L
Kalsium: 9-11 mg%
Kalium: 3,5-4,5 mEq/L
Fosfat: 3-4 mg%
Klorida: 46-107 mEq/l


Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor asupan-haluaran setiap 8 jam sekali dan timbang berat badan setiap hari dapat dilakukan


2. Berikan cairan setiap hari tidak boleh lebih dari 2000 cc


3. Pasang dower kateter dan monitor warna urin, bau urin dan aliran urin


4. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian Lasix
5. Kolaborasi dengan tim analis untuk pemeriksaan kadar elektrolit tubuh Monitor asupan-haluaran untuk mendeteksi timbulnya tanda-tanda kelebihan atau kekurangan cairan yang dapat dibuktikan pula dengan penimbangan berat badan (BB)
Berguna untuk menghindari peningkatan cairan di ruang ekstra seluler yang dapat menambah edema otak
Dapat membantu kelancaran pengeluaran urin sehingga terjadi urin statis. Monitor kualitas dan kuantitas urin untuk mencegah komplikasi.
Lasix dapat membantu meningkatkan ekskresi urin
Pada trauma kepala dengan pemakaian manitol dan obat-obatan diuretik dapat mengalami ketidakseimbangan elektrolit hiponatremia dan hipokalemia. Untuk itu perlu pemeriksaan elektrolit setiap hari.




d. Aktual atau resiko terjadi gangguan pemenuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan yang disebabkan oleh:
1) Berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya kesadaran
2) Melemahnya otot-otot yang digunakan untuk mengunyah atau menelan
3) Hipermetabolik
4) Perubahan kemampuan untuk mencerna makanan
Tujuan:
Kekurangan nutrisi tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1) Berat badan pasien normal (BB normal = TB-100-(10%TB-100))
2) Tanda-tanda malnutrisi tidak ada
3) Nilai-nilai hasil laboratorium normal:
Protein total: 6-8 gr%
Albumin: 3,5-5,3 gr%
Globulin: 1,8-3,6 gr%
Hb tidak kurang dari 10 gr%
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor kemampuan mengunyah, menelan, refleks batuk dan cara mengeluarkan sekret Dapat menentukan pilihan cara pemberian jenis makanan, karena pasien harus dilindungi dari bahaya aspirasi

(1) (2)
2. Auskultasi bising usus dan catat bila terjadi penurunan bising usus






3. Timbang berat badan


4. Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering, baik melalui Nasogastrik tube (NGT) maupun oral
5. Tinggikan kepala pasien dari badan ketika makan dan buat posisi miring dan netral/ lurus setelah makan
6. Lakukan kolaborasi dengan tim kesehatan (analis) untuk pemeriksaan, protein global, globulin, albumin dan Hb


7. Berikan makanan melalui oral, NGT atau IVFD Fungsi gastro-intestinal harus tetap dipertahankan pada penderita trauma kepala. Perdarahan lambung akan menurunkan peristaltik (bising usus lemah). Bising usus perlu diketahui untuk menentukan pemberian makanan dan mencegah komplikasi
Penimbangan berat badan dapat mendeteksi perkembangan berat badan
Memudahkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi

Mencegah regurgitasi dan aspirasi


Untuk mengidentifikasi defisiensi nutrisi fungsi organ dan respon nutrisi, serta menen-tukan pemberian hiperalimentasi karena protein yang banyak keluar dari cairan serebrospinal
Pemberian makanan dapat disesuaikan dengan kondisi pasien

e. Gangguan mobilisasi fisik, sehubungan dengan:
1) Imobilisasi, aturan terapi untuk tirah baring
2) Menurunnya kekuatan/ kemampuan motorik
Tujuan:
1) Mampu melakukan aktifitas fisik dan ADL (Activity Daily Living)
2) Tidak terjadi komplikasi dekubitus, bronkopnemonia, tromboplebitis dan kontraktur sendi
Kriteria evaluasi:
1) Pasien mampu dan pulih kembali setelah pascaakut dalam mempertahankan fungsi gerak
2) Tidak terjadi dekubitus, bronkopnemonia, tromboplebitis dan kontraktur seni
3) Mampu mempertahankan keseimbangan tubuh
4) Mampu melakukan aktifitas ringan pascaakut dan aktifitas sehari-hari (ADL) pada tahap rehabilitasi sesuai kemampuan
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Koreksi tingkat kemampuan mobilisasi dengan skala 0-4
0=pasien tidak tergantung pada orang lain
1 = pasien butuh sedikit bantuan
2 = pasien butuh bantuan/ pengawasan/ bimbingan Untuk menentukan tingkat aktifitas dan bantuan yang diberikan






(1) (2)
sederhana
3=pasien butuh bantuan/
peralatan yang banyak
4=pasien sangat tergantung pada pemberian pelayanan
2. Atur posisi pasien dan ubahlah secara teratur tiap 2 jam sekali bila tidak ada kejang atau setelah 4 jam pertama. Ubah posisi dengan mempertahankan posisi netral sewaktu membalikkan tubuh pasien terutama bila ada trauma spinal





3. Bantu pasien melakukan gerakan-gerakan sendi secara psif bila kesadaran menurun dan secara aktif bila pasien kooperatif
4. Observasi/ kaji terus kemampuan gerakan motorik, keseimbangan, koordinasi gerakan dan tonus otot





Mengubah posisi pasien secara teratur dapat meningkatkan sirkulasi seluruh tubuh dan mencegah adanya penekanan pada organ tubuh yang menonjol. Pasien dengan kejang tidak boleh banyak dirangsang dengan gerakan-gerakan motorik karena akan merangsang terjadinya kejang. Posisi netral akan mencegah trauma lebih berat pada daerah saraf spinal dan mencegah bertambahnya TTIK
Mempertahankan fungsi sendi dan mencegah penurunan tonus dan kekuatan otot dan mencegah kontraktor

Untuk melihat penurunan atau peningkatan fungsi sensoris-motoris (fungsi neurologis)


(1) (2)
5. Buat posisi seluruh persendian dalam letak anatomis dengan memberi penyanggah pada lekukan-lekukan sendi, telapak tangan dan kaki
6. Lakukan massage, perawatan kulit dan mempertahankan alat-alat tenuin bersih dan kering
7. Lakukan perawatan mata dengan memberi cairan aira mata buatan dan tutup mata dengan kasa steril lembab sesuai indikasi.

8. Bantu pasien seluruhnya dalam memenuhi kebutuhan ADL bila kesadaran belum pulih kembali
9. Observasi BAB dan bantu BAB secara teratur, periksa feses yang mengeras dan terjepit di anus. Kolaborasi dengan dokter pemberian supositoria dan pengeluaran feses secara manual bila ada kesukaran BAB
10. Berikan motivasi dan latihan pada pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL-nya sesuai Untuk mencegah kontraktur sendi



Meningkatkan sirkulasi, elastisitas kulit dan integritas kulit

Untuk mencegah iritasi mukosa mata karena kekeringan dan mencegah trauma pada mata yang tidak dapat tertutup karena penurunan kemampuan gerakan kelopak mata
Bantuan yang diberikan akan mampu memenuhi kebutuhan ADL

Tidak lancarnya BAB akan menyebabkan distensi abdomen dan terjepitnya feses pada anus akan merangsang refleks vagal yang dapat menambah TTIK. Tidak lancarnya BAB dapat disebabkan karena kurangnya mobilisasi
Motivasi ini diberikan untuk meningkatkan semangat hidup pasien agar lebih mandiri dalam
(1) (2)
kebutuhan pada tahap rehabilitasi

11. Anjurkan keluarga pasien untuk turut membantu melatih dan memberi motivasi


12. Lakukan kolaborasi dengan tim kesehatan lain (fisioterapi) dan pekerja sosial dalam terapi fisik dan pekerjaan memenuhi ADL. Hal ini untuk menghindari ketergantungan pasien pada orang lain.
Keterlibatan keluarga sangat berarti dalam memberikan dukungan moril pasien sehingga pasien akan optimis dalam keterbatasannya
Dengan memberikan terapi fisik dan pekerjaan akan melatih pasien untuk belajar mandiri setelah pulang ke rumah

f. Gangguan persepsi sensoris yang disebabkan oleh:
1) Menurunnya tingkat kesadaran (defisit neurologis)
2) Penurunan daya penangkapan sensoris
Tujuan:
Mengembalikan fungsi persepsi sensoris agar mengarah ke pemulihan/ normal dan komplikasi dapat dicegah atau seminimal mungkin tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1) Tingkat kesadaran normal: GCS = E4 M6 V5
2) Fungsi alat-alat indra baik
3) Pasien kooperatif kembali dan dapat berorientasi pada orang, tempat dan waktu

Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor respon sensoris terhadap raba/ sentuhan, panas/ dingin, tajam/ tumpul dan catat perubahan-perubahan yang terjadi
2. Monitor persepsi pasien, beri umpan balik dan koreksi kemampuan pasien berorientasi terhadap orang, tempat dan waktu
3. Berikan stimulus yang berarti saat penurunan kesadaran sampai kembali-nya fungsi persepsi yang maksimal seperti: mengajak bicara (walau tanpa jawaban), taktil dengan memberikan sentuhan dan pendengaran dengan musik atau bunyi-bunyian.
4. Berbicaralah pada pasien dengan tenang, lembut menggunakan kalimat yang sederhana. Tunggu respon pasien/ jawaban dengan sabar baik melalui verbal, Informasi yang didapat melalui pengkajian sangat penting untuk mengetahui tingkat kegawatan dan kerusakan otak


Hasil pengkajian dapat menginformasikan penurunan fungsi otak yang terkena dan membantu intervensi selanjutnya
Stimulus dapat merangsang kembalinya kemampuan persepsi sensoris, tingkat kesadaran dan memori pasien







Membantu pasien berkomunikasi untuk merangsang kondisi pasien, perhatian dan pemahaman kembali ke arah normal (semaksimal mungkin)

(1) (2)
isyarat atau tulisan
5. Berikan keamanan pasien dengan pengaman sisi tempat tidur, bantu latihan jalan dan lindungi dari cedera
Gangguan persepsi sensoris dan buruknya keseimbangan dapat meningkatkan resiko terjadinya injuri

g. Resiko terjadinya infeksi sehubungan dengan:
1) Masuknya kuman melalui jaringan atau kontinuitas yang rusak
2) Kekurangan nutrisi
Tujuan:
Tidak terjadi infeksi baru
Kriteria evaluasi:
1) Tidak terdapatnya tanda-tanda infeksi seperti rabor, dolor, kalor, tumor dan fungsiolesa
2) Tidak ada pus pada daerah kulit yang rusak
3) Tidak ada infeksi dari kateter dan infus set
4) Tidak terjadi abses otak/ meningitis
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan secara aseptik dan antiseptik Untuk mencegah infeksi nosokomial


(1) (2)
2. Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran
3. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obat antibiotik


4. Kolaborasi dengan tim analis untuk pemeriksaan: kadar leukosit, liquor dari hidung, telinga, dan urin serta kultur resistensi


5. Bila ada perdarahan melalui hidung dan telinga atau liquor yang keluar dari hidung dan telinga maka tutup dengan kasa steril. Jangan memasukkan alat-alat tidak steril
6. Periksakan cairan/ liquor yang keluar dari hidung dan telinga. Kolaborasi dengan medis dan analis Untuk mendeteksi tanda-tanda sepsis
Antibiotik berguna untuk membunuh atau memberantas bibit penyakit yang masuk ke dalam tubuh sehingga infeksi dapat dicegah
Kadar leukosit darah dan urin adalah indikator dalam menentukan adanya infeksi. Liquor dari mulut dan hidung diperiksa untuk menentukan jenis kuman dan terapi yang akan digunakan
Bila ada kuman yang masuk melalui hidung dan telinga akan menyebar sampai cairan serebrospinal sehingga dapat menyebabkan abses otak dan meningitis

Untuk mengkaji apakah berasal dari cairan serebrospinal




h. Gangguan rasa nyaman (pada pasien yang tingkat kesadarannya sudah pulih, GCS = 15): nyeri kepala, pusing dan vertigo disebabkan karena:
Kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak/ peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan:
Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi
Kriteria evaluasi:
1) Pasien tenang, tidak gelisah
2) Nyeri kepala, pusing dan vertigo hilang
3) Pasien dapat istirahat dengan tenang
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor mengenai lokasi, intensitas, penyebaran, tingkat kegawatan dan keluhan-keluhan pasien
2. Ajarkan latihan teknik relaksasi seperti latihan nafas dalam dan relaksasi otot-otot







Untuk memudahkan membuat intervensi


Latihan nafas dalam dan relaksasi otot-otot dapat mengurangi ketegangan syaraf sehingga pasien merasa lebih rileks dan dapat mengurangi rasa nyeri kepala, pusing dan vertigo. Latihan nafas dalam dapat membantu pemasukan oksigen lebih banyak, terutama untuk oksigenisasi otak


(1) (2)
3. Buat posisi kepala lebih tinggi (150-450)
4. Kurangi stimulus yang tidak menyenangkan dari luar dan berikan tindakan yang menyenangkan seperti massage daerah punggung, kaki, dll
5. Kolaborasi dengan tim media dalam pemberian obat-obatan analgetik Posisi kepala lebih atas dari badan dan kaki akan meningkatkan dan melancarkan aliran balik pembuluh darah vena dari kepala sehingga dapat mengurangi edema dan TTIK
Respon yang tidak menyenangkan menambah ketegangan saraf dan massage daerah punggung, kaki, dll akan mengalihkan rangsangan terhadap nyeri, pusing dan vertigo

Obat analgetik untuk meningkat-kan ambang rangsang nyeri, pusing yang dapat mengurangi/ menghilangkan rasa nyeri

i. Gangguan kemampuan proses berfikir dengan baik dan logis yang disebabkan oleh:
1) Konflik psikologis
2) Gangguan fungsi sensoris
Tujuan:
Kemampuan berpikir pasien dapat kembali normal
Kriteria evaluasi:
1) Pasien dapat menerima/ berorientasi terhadap kenyataan
2) Pasien dapat mengenali adanya perubahan-perubahan dalam proses
3) Keluarga dapat menerima perubahan berfikir pasien
4) Pasien mau berperan serta dalam proses latihan atau perawatan
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor kemampuan berfikir dengan menanyakan nama dan orientasi terhadap lingkungan di sekitarnya; tempat, orang dan waktu.

2. Monitor perhatian dan cara pasien mengalihkan perhatiannya kemudian catat tingkat kecemasan


3. Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang perubahan berfikir pasien dan rencana perawatan



4. Ajarkan teknik relaksasi, jangan berikan tantangan berfikir keras dan beri aktifitas sesuai kemampuan Dengan mengetahui kemampuan berfikir pasien maka dapat ditentukan rencana latihan-latihan yang berhubungan dengan stimulus proses berpikir dan memori
Pada trauma kepala terutama kontusio serebri akan mengalami penurunan kemampuan berkonsentrasi dan dalam memusatkan perhatian. Hal ini menimbulkan kecemasan.
Dengan memberi penjelasan kepada pasien dan keluarga, dapat mengurangi kecemasan pasien dan keluarga, sehingga dapat diajak bekerja sama dalam mengantisipasi keadaan dan meningkatkan peran sosial
Tindakan ini melatih pasien dalam memusatkan perhatian sehingga lambat laun kemampuan berpikir pasien akan pulih kembali (sesuai dengan kerusakan otak yang terjadi).

(1) (2)
5. Beritahu pasien dan keluarga bahwa fungsi intelektual, fungsi perilaku dan emosi lambat laun akan normal bila kerusakan otak dapat pulih kembali. Tetapi efek-efek tertentu dapat bertahan sebagai gejala sisa.
Dengan penjelasan yang tepat dan keterbukaan tim pelayanan kesehatan terhadap pasien dan keluarga akan memberikan kesiapan dan kesabaran dalam latihan-latihan saat proses rehabilitasi

j. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan gerakan tonik/ klonik tak terkontrol selama episode kejang dan/ atau somnolen
Tujuan:
Cedera tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1) Klien tidak mengalami cedera
2) Tidak terjadi luka baru
3) Kesadaran meningkat
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Libatkan keluarga untuk terus menemani klien


2. Modifikasi lingkungan dengan cara:
Keluarga dapat mengawasi keadaan klien dan menghindari perilaku yang membahayakan klien
Lingkungan yang aman dapat mengurangi resiko cedera


(1) (2)
- menjauhkan benda-benda tajam, memasang bed plang, bantahan di pinggir tempat tidur
3. Pasang restrain dan fiksasi klien bila perlu
4. Berikan penjelasan pada keluarga tentang pencegahan trauma


Mencegah gerakan yang tidak terkontrol yang dapat menimbulkan cedera
Keluarga dapat mengetahui dan memahami cara mencegah trauma

k. Perubahan eliminasi urinarius (inkontinen atau retensi) berhubungan dengan penurunan kesadaran
Tujuan:
Retensi atau inkontinensi tidak terjadi
Kriteria evaluasi:
1) Klien dapat BAK dengan lancar
2) Pola BAK terkontrol
3) Warna urine kuning muda
Intervensi Rasional
(1) (2)
1. Monitor intake dan output urine
2. Palpasi distensi kandung kemih dan observasi pengeluaran urine
Mengetahui keseimbangan cairan klien
Mengidentifikasi adanya kontraksi kandung kemih



(1) (2)
3. Bersihkan daerah perineum dan jaga agar tetap kering
4. Lakukan pemasangan dan perawatan kateter, jika perlu
5. Latih klien teknik bladder training bila klien sehat Mencegah infeksi pada meatus uretra externa
Dapat menurunkan resiko terjadinya iritasi kulit atau infeksi
Melatih otot spinkter uretra eksterna sehingga kontrol klien untuk BAK meningkat.

3. Implementasi (Effendy, Nasrul, 1995: 40)
Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari perencanaan keperawatan yang telah ditentukan, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal. Pelaksanaan tindakan pada klien dengan gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala difokuskan pada tindakan-tindakan yang ditujukan pada upaya untuk mengembalikan tekanan intra kranial pada kondisi normal (50-200 mmH2O atau 4 – 15 mmHg), kebutuhan O2 ke otak terpenuhi, pemenuhan kebutuhan nutrisi yang adekuat, pemenuhan kebutuhan aktifitas sehari-hari klien, mengembalikan fungsi persepsi sensori dan fungsi kognitif kembali normal serta pencegahan terjadinya cedera berulang.
4. Evaluasi (Nasrul Effendy, 1995: 46)
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik dan terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan pasien dan tenaga kesehatan lainnya.
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam melaksanakan rencana tindakan yang telah ditentukan untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan pasien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.
Evaluasi keperawatan adalah mengukir keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan pasien.
Kriteria keberhasilan pada klien dengan gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala adalah klien berada pada kondisi kesadaran penuh dengan nilai GCS: 15, tanpa adanya kecacatan fisik dan gejala sisa.